Asas Dominus Litis di Revisi KUHAP Dinilai Berpotensi Timbulkan Dualisme Hukum
Sigerindo Kendari - Rencana penerapan asas dominus litis dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali menuai kritik. Asas yang memberikan kewenangan penuh kepada jaksa untuk menentukan kelanjutan atau penghentian suatu perkara dinilai berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Tokoh pemuda Sulawesi Tenggara (Sultra), Ujang Hermawan, menyatakan kekhawatirannya terhadap penerapan asas tersebut. Menurutnya, jika revisi KUHAP disahkan dengan tetap mengadopsi asas dominus litis, maka akan terjadi dualisme dalam proses penegakan hukum yang justru bisa merugikan masyarakat.
"Jika jaksa diberikan kewenangan penuh untuk menentukan apakah sebuah perkara dilanjutkan atau dihentikan, tentu ini bisa menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan penyidik di kepolisian. Padahal, dalam sistem hukum pidana kita, masing-masing lembaga sudah memiliki fungsi yang jelas," paparnya, Senin 17/3/2025.
Menurutnya, dalam sistem penegakan hukum, kepolisian berperan dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, sementara kejaksaan bertugas dalam penuntutan. Jika jaksa diberi wewenang untuk menghentikan perkara sejak tahap penyidikan, maka peran dan otoritas kepolisian dikhawatirkan akan tergerus.
"Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, sementara jaksa berperan dalam penuntutan di pengadilan. Jika jaksa bisa menghentikan perkara sejak awal, ini akan memicu dualisme kewenangan yang berisiko menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum," ujarnya.
Ujang juga menilai, pemberian kewenangan tersebut dapat menciptakan standar ganda dalam proses hukum. Ia khawatir, masyarakat akan kesulitan memahami mekanisme hukum yang berlaku, terutama ketika ada perbedaan pandangan antara kepolisian dan kejaksaan terkait kelanjutan suatu perkara.
"Ketika ada perbedaan sikap antara polisi dan jaksa, siapa yang akan diikuti? Masyarakat bisa kebingungan, dan ini bisa berdampak pada kepercayaan publik terhadap penegakan hukum," tambahnya.
Tak hanya itu, Ujang juga menyoroti pentingnya revisi batas waktu penyelesaian perkara pidana. Menurutnya, proses hukum yang lambat selama ini menjadi keluhan masyarakat. Ia berharap revisi KUHAP bisa memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
"Yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah proses hukum yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Jangan sampai revisi KUHAP malah memperumit situasi dengan menciptakan multitafsir yang bisa memperlambat keadilan," jelasnya.
Ia menilai, jika asas dominus litis diterapkan tanpa pengaturan yang jelas, bukan tidak mungkin justru akan menciptakan konflik antara lembaga penegak hukum. Untuk itu, Ujang mendorong agar pemerintah dan DPR melakukan pembahasan yang matang dengan melibatkan semua pihak terkait.
"Revisi KUHAP jangan sampai menimbulkan konflik baru. Pemerintah dan DPR harus cermat, melibatkan para ahli hukum, praktisi, dan masyarakat agar revisi ini benar-benar menjawab kebutuhan hukum masyarakat dan tidak menimbulkan ketidakpastian," tegasnya.
Ia juga meminta agar produk hukum yang dihasilkan tidak menimbulkan ketimpangan dalam penegakan hukum. Semua pihak, menurut Ujang, harus memastikan bahwa proses hukum berjalan adil dan tidak merugikan masyarakat.
"Jangan sampai masyarakat jadi korban dari ketidakjelasan aturan. Revisi KUHAP harus berpihak pada keadilan dan kepastian hukum," tandasnya. (IS)
Tokoh pemuda Sulawesi Tenggara (Sultra), Ujang Hermawan, menyatakan kekhawatirannya terhadap penerapan asas tersebut. Menurutnya, jika revisi KUHAP disahkan dengan tetap mengadopsi asas dominus litis, maka akan terjadi dualisme dalam proses penegakan hukum yang justru bisa merugikan masyarakat.
"Jika jaksa diberikan kewenangan penuh untuk menentukan apakah sebuah perkara dilanjutkan atau dihentikan, tentu ini bisa menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan penyidik di kepolisian. Padahal, dalam sistem hukum pidana kita, masing-masing lembaga sudah memiliki fungsi yang jelas," paparnya, Senin 17/3/2025.
Menurutnya, dalam sistem penegakan hukum, kepolisian berperan dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, sementara kejaksaan bertugas dalam penuntutan. Jika jaksa diberi wewenang untuk menghentikan perkara sejak tahap penyidikan, maka peran dan otoritas kepolisian dikhawatirkan akan tergerus.
"Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, sementara jaksa berperan dalam penuntutan di pengadilan. Jika jaksa bisa menghentikan perkara sejak awal, ini akan memicu dualisme kewenangan yang berisiko menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum," ujarnya.
Ujang juga menilai, pemberian kewenangan tersebut dapat menciptakan standar ganda dalam proses hukum. Ia khawatir, masyarakat akan kesulitan memahami mekanisme hukum yang berlaku, terutama ketika ada perbedaan pandangan antara kepolisian dan kejaksaan terkait kelanjutan suatu perkara.
"Ketika ada perbedaan sikap antara polisi dan jaksa, siapa yang akan diikuti? Masyarakat bisa kebingungan, dan ini bisa berdampak pada kepercayaan publik terhadap penegakan hukum," tambahnya.
Tak hanya itu, Ujang juga menyoroti pentingnya revisi batas waktu penyelesaian perkara pidana. Menurutnya, proses hukum yang lambat selama ini menjadi keluhan masyarakat. Ia berharap revisi KUHAP bisa memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
"Yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah proses hukum yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Jangan sampai revisi KUHAP malah memperumit situasi dengan menciptakan multitafsir yang bisa memperlambat keadilan," jelasnya.
Ia menilai, jika asas dominus litis diterapkan tanpa pengaturan yang jelas, bukan tidak mungkin justru akan menciptakan konflik antara lembaga penegak hukum. Untuk itu, Ujang mendorong agar pemerintah dan DPR melakukan pembahasan yang matang dengan melibatkan semua pihak terkait.
"Revisi KUHAP jangan sampai menimbulkan konflik baru. Pemerintah dan DPR harus cermat, melibatkan para ahli hukum, praktisi, dan masyarakat agar revisi ini benar-benar menjawab kebutuhan hukum masyarakat dan tidak menimbulkan ketidakpastian," tegasnya.
Ia juga meminta agar produk hukum yang dihasilkan tidak menimbulkan ketimpangan dalam penegakan hukum. Semua pihak, menurut Ujang, harus memastikan bahwa proses hukum berjalan adil dan tidak merugikan masyarakat.
"Jangan sampai masyarakat jadi korban dari ketidakjelasan aturan. Revisi KUHAP harus berpihak pada keadilan dan kepastian hukum," tandasnya. (IS)